Kualitas Hidup

Sebanyak tiga ribuan pendaftar berebut delapan ratusan kursi PNS di kotaku. Tidak, aku bukan salah satu dari mereka, sehingga aku tidak akan berbicara tentang susahnya melawan empat orang dalam tes CPNS tersebut.

Berbicara soal PNS, akhir-akhir ini setelah ketidaknyamanku di tempat kerjaku aku utarakan ke Ibuku, sontak beliau seperti ikan yang melihat cacing bohay ginuk-ginuk di kail yang aku ulurkan, langsung di sambar dengan tawaran untuk mendaftar menjadi PNS. Bakat promosinya keluar, rasanya meski tanpa ilmu pemasaran dan tidak pernah menjadi pemasar—dalam artian penjual yang sesungguhnya, beliau amat piawai memberikan gagasan-gagasan untuk menguatkan antusiasmeku agar mendaftar menjadi anggota seragam cokelat padi itu.

Jaminan pensiun adalah hal yang paling diincar saat jadi PNS. Secara umum. Kalau memang sedari awal sudah niatnya mau nakal, pastilah proyek-proyek basah yang menjadi bargaining position pekerjaan tersebut.

Ketika menjadi PNS, kualitas hidup kita akan meningkat katanya. Gaji bulanan yang lancar, tambahan uang dari proyek, belum lagi lemburan-lemburan dan tunjangan lain yang membuat seisi rekening tidak penuh rayap lagi karena jarang dihuni uang.

Kualitas hidup, sebegitunya kak uang akan mempengaruhi kualitas hidup kita? Memangnya seperti apa hidup yang berkualitas itu?

Banyak uang? Istri di mana-mana? Mobil berbaris sampai parkiran macet? Rumah di setiap komplek elit? Atau pujian dari lingkungan sekitar karena jabatan?

Kalau kamu jeli, mari kita lihat isi hati kamu, siapa orang-orang yang sebenarnya ingin jadi PNS? Kamu atau orang tua kamu? Kalau jawaban kita sama, yakni orang tua, maka aku punya satu hipotesis yang kuat bahwa alasan yang membuat para orang tua kita begitu getol untuk membuat anak-anaknya menjadi PNS adalah karena didikan masa lalu jaman Suharto. Jaman di mana siapa saja yang menjadi PNS akan banyak uang, dihormati, di elu-elukan oleh masyarakat.

Diinsafi atau tidak, para orang tua kita memang sudah dididik seperti itu sejak dulu kala. Turun-temurun sampai saat ini ke kita. Dan semakin berkembangnya teknologi, dunia menawarkan passion dan kompetensi sebagai alat utama mencapai kesuksesan. Banyak dari kita generasi milenial atau yang setelah kita memilih untuk menggeluti apa yang sesuai dengan passion dan kompetensi dasar kita yang paling aktus.

Kembali pada kualitas hidup, kalau diberi pilihan banyak rezeki atau rezeki cukup tapi berkah, kemungkinan besar saya akan memiliki rezeki yang cukup tapi berkah.

Logikanya sederhana saja, buat apa kita kaya raya kalau harta itu tidak berpengaruh pada kualitas hidup kita. Uang yang ada hanya numpang lewat, kita bahkan tidak sempat menikmatinya, kalaupun kita menikmatinya kita menikmati dengan perasaan was-was dan penuh perhitungan untung rugi. Lalu di mana letak kebahagiaannya?

Bandingkan dengan rezeki cukup tapi berkah, setiap rezeki yang ada berpengaruh pada peningkatan kualitas hidup kita, kita bisa menikmatinya dengan bahagia setiap rupiah yang kita belanjakan. Atau bahkan meski tidak ada rupiah yang kita belanjakan kita tetap bisa bahagia.

Seperti hanya aku, aku yang sebenarnya belum selesai dengan diriku sendiri sedikit banyak merasakan rasanya rezeki cukup namun berkah.

Dulu aku hanya berangan-angan naik pesawat, sekarang aku naik pesawat tiap pekan dari satu ujung pulau ke ujung yang lain. Dulu aku yang ngempet banget pengin punya motor di saat anak-anak yang lain punya motor, saat ini aku bebas memakai motor Varia 125 terbaru ke manapun dengan bensin di tanggung oleh perusahaan. Makanan yang dulu aku makan hanya jangan lompong (daun kelor) dan sangat bahagia sekali ketika makan daging ayam, saat ini sangat bosan saya makan Fast Food dan segala familinya. Hampir semua makanan enak pernah aku rasakan. Aku juga yang tidak ada bayangan kuliah saat ini bisa menjadi sarjana dari sebuah perguruan tinggi bergengsi di Surabaya. Rumah yang ku tinggali saat ini juga menyediakan fasilitas lengkap dengan kulkas, mesin cuci, AC, ruang kerja, meja kerja, komputer spesifikasi tinggi internet cepat dan fasilitas olahraga indoor. Kalau dihitung-hitung dengan uang, aku harus kerja keras macam apa dulu baru bisa merasakan semua itu. Semua itu justru aku dapatkan ketika aku ikhlaskan itu semua. Aku fokus pada pekerjaanku di dunia karier sosial ini, dan semua fasilitas yang berhubungan dengan pencapaian target kerjaku yang tinggi akan mengikutiku.

Itu baru fasilitas fisik, belum lagi fasilitas non fisik, seperti bersalaman dengan presiden, berbincang dan berfoto dengan Walikota, bersilaturahmi rutin dengan Ketua MUI. Tidak akan bisa aku menghitung nikmat imaterial yang aku dapatkan dari berjuang di jalan sosial ini.

Aku selalu ingat apa kata Tuhanku di Al Quran surat Muhammad ayat tujuh, bahwa siapa saja yang menolong Allah maka Allah akan menolongnya dan meneguhkan kedudukannya.

Dan sekarang itulah yang aku rasakan. Tanpa harus menjadi PNS. Atau kalau dihitung-hitung, harus jadi PNS berapa tahun untuk bisa menikmati fasilitas seperti itu di umur dua puluh empatan ini.

Ah, ngomong-ngomong gajihku hanya UMR, tapi aku tidak pernah tuh kelaparan di kota besar ini. Yah begitulah hidup, selalu harus memilih. Mau banyak rezeki tapi nggak sempat menikmati atau rezeki secukupnya tapi berpengaruh pada kualitas hidup kita.

Kita yang memilih.

Tinggalkan komentar